Jumat, 28 Maret 2014

(sok) serius

Kemarin saya baca cuplikan artikel yang dishare salah seorang list following di twitter. Saya gak tau persis itu cuplikaan artikel apa dan ditulisnya kapan, yang jelas dalam cuplikan itu dikutip berita tentang penutupan 4 penjara di Swedia karena kekurangan penghuni. Yang membuat miris, penutupan penjara itu kemudian dihubungkan dengan warga di negara tersebut yang kebanyakan atheis (tidak beragama), dan disebutkan bahwa agama ternyata tidak menjamin moralitas yang tinggi bagi para pemeluknya.

Artikel ini mengingatkan saya bahwa belakangan ini memang sering sekali saya membaca opini sejenis. Bahwa agama tidak menjamin moralitas, karena banyak pemeluk agama (apapun itu) yang tetap melakukan kejahatan, ntah itu korupsi, membunuh, merampok, dan lainnya. Kemudian saya sadar, gerakan kampanye "anti-agama" ini, terlebih di Indonesia, memang semakin digencarkan dengan berbagai cara, termasuk salah satunya adalah dengan penyebaran opini di media massa. Ehm, ilmu saya tidak sampai kepada apa itu teori di baliknya atau misi apa yang sedang diusung. Yang jelas, dalam pandangan awam saya, gerakan itu menargetkan agar manusia-manusia yang selama ini memegang teguh ajaran agamanya kemudian ragu dan menyadari bahwa memang tidak ada hubungan antara agama (sekali lagi, apapun itu) dan moral. Bahwa tidak perlu menjadi seorang pemeluk agama untuk menjadi orang baik dan bermoral.

Okelah, beragama itu termasuk hak dasar manusia yang tidak boleh dicampuri oleh manusia lain. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk agama apapun, termasuk untuk tidak beragama. Tapi yang membuat sedih adalah ketika banyak orang yang selama ini beragama justru kemudian ragu akan ajaran agamanya dan memilih untuk beranggapan bahwa pilihan terbaik untuk menjadi orang baik justru dengan memisahkan agama dari kehidupannya sehari-hari. Oh tolonglah, saya rasa tidak ada agama apapun di dunia ini yang mengajarkan pemeluknya untuk menjadi orang jahat. Ketika seseorang melakukan kejahatan, justru perlu kita pertanyakan lagi bagaimana ketika itu ia tidak mengingat apa yang diajarkan dalam kitab sucinya, bahwa perbuatan yang ia lakukan tersebut sebenarnya terlarang. Saya masih sangat percaya, jika semua orang mengamalkan ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh sesuai tuntunan yang ada, tentu tingkat kejahatan bisa menurun dengan drastis.

Sekali lagi, agama itu sempurna. Keterbatasan akal dan sifat pemeluknya lah yang terkadang mencoreng kesempurnaan itu. Susaaah sekali memang menjadi pemeluk agama yang baik. Bahkan seseorang yang terlihat dari luar sudah sangat beriman pun, tidak bisa kita pungkiri ada satu-dua sifat bawaan yang seolah-olah bertentangan dengan ajaran agamanya. Saya apalagi, masih sangaaaat jauh dari tingkatan yang bisa dibilang pemeluk agama yang baik. Tapi itu tidak harus membuat kita menyerah kan? Setidaknya ada motivasi bagi kita untuk terus mempelajari apa yang diajarkan, sehingga pada akhirnya kita bisa mencapai tingkatan terbaik itu.
Yuk sama-sama belajar.. :)